1 Juli 2010

Adab Rasulullah Saat Makan

- JANGAN MAKAN BUAH SETELAH MAKAN NASI , SEBALIKNYA MAKANLAH BUAH TERLEBIH DAHULU, BARU MAKAN NASI.
- TIDUR 1 JAM SETELAH MAKAN TENGAH HARI.
- JANGAN SESEKALI TINGGAL MAKAN MALAM . BARANG SIAPA YG TINGGAL MAKAN MALAM DIA AKAN DIMAKAN USIA DAN KOLESTEROL DALAM BADAN AKAN BERGANDA.
Nampak memang sulit.. tapi, kalau tak percaya...cobalah.................................Pengaruhnya tidak dalam jangka pendek.... Akan berpengaruh bila kita sudah tua nanti.
- Dalam kitab juga melarang kita* makan makanan darat bercampur dengan makanan laut. *
Nabi pernah mencegah kita makan ikan bersama susu. karena akan cepat mendapat penyakit. Ini terbukti oleh ilmuwan yang menemukan bahwa dalam daging ayam mengandung ion+ sedangkan dalam ikan mengandung ion-, jika dalam makanan kita ayam bercampur dengan ikan maka akan terjadi reaksi biokimia yang akan dapat merusak usus kita.
- *Al-Quran Juga mengajarkan kita menjaga kesehatan spt membuat amalan antara lain: *
- *Mandi Pagi sebelum subuh, *sekurang kurangnya sejam sebelum matahari terbit. Air sejuk yang meresap kedalam badan dapat mengurangi penimbunan lemak. Kita boleh saksikan orang yang mandi pagi kebanyakan badan tak gemuk.
- Rasulullah mengamalkan *minum segelas air sejuk *(bukan air es) setiap pagi. Mujarabnya Insya Allah jauh dari penyakit (susah mendapat sakit).
- Waktu sembahyang subuh disunatkan kita bertafakur (yaitu *sujud sekurang kurangnya semenit *setelah membaca doa). Kita akan terhindar dari sakit kepala atau migrain. Ini terbukti oleh para ilmuwan yang membuat kajian kenapa dalam sehari perlu kita sujud. Ahli-ahli sains telah menemui beberapa milimeter ruang udara dalam saluran darah di kepala yg tidak dipenuhi darah. Dengan bersujud maka darah akan mengalir keruang tersebut.
- Nabi juga mengajar kita *makan dengan tangan* *dan *bila habis hendaklah *menjilat jari.* Begitu juga ahli saintis telah menemukan bahwa enzyme banyak terkandung di celah jari jari, yaitu 10 kali ganda terdapat dalam air liur. (enzyme sejenis alat percerna makanan)

Thoriqoh, Jalan Menuju Ma'rifat

“Awwaluddin Ma’rifatullah” (Awal mula seseorang itu beragama, ialah mengenal akan Allah)”.


Dimana seseorang itu wajib hukumnya untuk mengenal akan Allah sebagai langkah awal menuju kesempurnaan beragama. Tanpa mengenal Allah maka Ibadah apapun yang dilakukan bagaimana mungkin bisa dikatakan sampai sedangkan Tujuan nya saja tidak diketahui. Karena itu sangatlah penting sekali pengenalan akan Allah itu di dalam kehidupan ini. Dengan Mengenal akan Allah maka akan dirasakannya Manis Lezatnya ke imanan, dirasakan khusyuknya dalam Amal Ibadah serta Ketenangan Jiwa akan mengalir di dalam dirinya. Menjadikan Pribadi yang ikhlas, sabar, tawakkal serta Ridho dalam menjalani Hidup. Tentu tiada kebahagiaan yang melebihi daripada kebahagiaan para Arif billah/orang yang mengenal akan Allah

Seandainya Allah Swt membukakan akan rahasia keagungan para Arif billah, maka niscaya orang-orang akan tercengang dan terheran-heran serta takjub dibuatnya. Karena Nur yang meliputi diri para Arif billah itu akan memancar menembus sampai ke langit ketujuh. Karena itu lah Allah menutup akan diri para kekasih-kekasihNya itu, sehingga tidak ada yang mengetahui tentang dirinya melainkan hanya Allah dan mereka-mereka yang sama-sama telah sampai pada maqom Ma’rifatullah tsb.

Adapun Manusia-manusia itu untuk sampai kepada pengenalan akan Allah (Ma’rifatullah) maka terlebih dahulu ia haruslah mengenal dirinya yang sebenar-benarnya.


“Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Robbahu” (Barang siapa yang mengenal akan dirinya yang sebenarnya niscaya kenal lah ia akan Allah).

Dan tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah :

  1. Menundukkan Hawa Nafsu dengan memerangi kesyirikan, kekufuran, kemunafikan, kefasikan dan kemurtadan yang ada di dalam diri dengan menjauhi kesombongan, keingkaran terhadap kebenaran, kebodohan dan ketidak pedulian tentang kebenaran.
  2. Apabila ia telah berhasil di dalam memerangi Hawa Nafsunya tadi maka ia akan di anugrahi Hidayah/petunjuk kepada jalan yang di Ridhoi Allah Swt yaitu jalan menuju kepada Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw, serta dilengkapi ia dengan sifat-sifat Muhammad Rosulullah Saw yaitu Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah serta menjadikan ia Sami’na wa atho’na.
  3. Apabila ia tetap Istiqomah pada tahapan ke-1 dan ke-2 itu maka ia akan disesuaikan oleh Allah Swt dengan Hukum Sunatullah yang berlaku di dalam kehidupan ini. Maka tetapkanlah kesabaranmu di dalam Hukum Allah Swt itu. (Tawakkal/berserah diri kepada Allah dengan meyakini bahwa apa yang terjadi atas dirinya, itu semua Qudrat Iradat Allah Swt semata). Bersabarlah! Dan pasrahkanlah dengan sebenar-benarnya, dan berlaku kasih sayanglah kepada sesama Saudara Mu’min serta menjadilah Rahmat bagi Makhluk Allah Swt yang lain. Tetapi ingatlah!!!, sesungguhnya banyak di antara orang Mu’min Hamba-hamba Allah itu yang terlena di dalam tahapan ini, artinya mereka yang takjub dan hilang kesadaran dirinya karena sangat mempesonanya keindahan-keindahan dan kemuliaan-kemuliaan Allah Swt yang dinyatakan/ditampakkan oleh Allah berupa karomah-karomah membuat ia lupa akan Allah Swt yang menganugrahkan kelebihan-kelebihan itu sehinggan Karomah itulah yang menjadi maksud dan tujuannya. Lalu lupa ia kepada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah Swt yang menurunkan Karomah itu. Maka jatuhlah ia kepada jurang kefasikan, kembali dikuasai oleh Hawa Nafsunya. “Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah………….” . Berhati-hatilah di dalam tahapan ini!!!!, tidak ada seorangpun yang selamat dalam tahapan ini melainkan mereka yang benar di dalam memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah Swt, sehingga jadilah Allah sebagai penolongnya dan hanya Allah lah sebaik-baik penolong bagi orang-orang Mu’min.
  4. Kemudian apabila ia telah sampai kepada tahapan itu dengan selamat dan ia senantiasa di dalam kesabaran serta selalu berhati-hati di dalam Musyahadahnya (Penyaksiannya), maka akan tersingkaplah segala Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw dengan sendirinya tanpa ia memaksakan kehendaknya untuk menyingkap tirai itu. Artinya ; Kebenaran Hakikat Muhammad Rosulullah Saw itu sendiri yang akan datang menjemputnya untuk di bawa naik (Mi’raj) menuju Alam yang tiada Batas dan dihampirkannnya kepada Kebenaran yang membawa Rahmat yaitu Nurun Ala Nurin sumber segala hakikat-hakikat yang ada termasuk Hakikat Diri atau Hakikat Muhammad . Lalu timbul lah kecintaan yang amat sangat dalam kepada Muhammad Rosulullah Saw, rindu yang tiada habis-habisnya dan diwujudkannya di dalam gerak dan diamnya dengan Sholawat dan puji-pujian kepada Rosulullah Saw. Kecintaannya yang sangat dalam kepada Rosulullah Saw terasa nikmat sekali dirasakannya, sehingga tiada nikmat apapun yang dapat menyamai kenikmatan cinta Rosulullah Saw. Racun kerinduan rela dan ikhlas diminumnya karena kemabukkannya tiada bandingannya. Kemabukkan cinta itulah yang mengahantarkan dirinya kepada Robbul Izzati untuk berkasih-kasihan memadu cinta yang telah lama terpendam.

Dengan tahapan-tahapan itu akan sampai lah ia kepada Memandang Zat Maha Mutlak yang tiada tara keagungan dan kebesaran-Nya, yang Esa dalam ke Esa annya, dimana segala sesuatu bergantung kepada-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan tiada satupun yang menyamai-Nya.

Ketika para Pecinta Allah sudah asyik di dalam pandang memandang, maka Allah akan mendudukan ia pada “Maqom Muroqobah” sebagai jalan terbukanya Tirai “Kebenaran Hakiki/Mukassyafaturrobbani” . Itulah Akhir dari pada pengembaraan dan perjalanan dan Itulah Puncak segala Puncak kenikmatan dan kebahagiaan.

Maka sampailah ia kepada Hakikat di atas Hakikat yaitu Zat Maha Mutlak yang tidak bisa di ganggu gugat dari segala apa pun tentang diri-Nya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

Asyhadu Anlaa ilaa ha illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadurrosulullah.

Berbahagialah bagi insan muslim yang sudah mempunyai guru Thoriqoh karna dari sana kita bisa dibimbing oleh guru kita,di hantarkan kita menuju khadroturroby.

"ALYAUMA YAQUMUNNASU BI IMAMIHIM"

Besok di hari qiyamat manusia akan di kelompokkan dengan guru mereka masing-masing.

oleh karna itu hormati,khidmati,dan cintai gurumu jangan kau lawan dengan kesalahanmu.

Tata Cara Thoriqoh Qodhriyah Wan Naqsyabandiyah

Seseorang yang memasuki dan mengambil thariqah Qodiriah wan Naqsyabandiyah ini, maka dia harus melaksanakan kaifiah atau tata cara sebagai berikut;

1. Datang kepada guru mursyid untuk memohon izin memasuki thariqahnya dan menjadi muridnya. Hal ini dilakukan sampai memperoleh izinnya.

2. Mandi taubat yang dilanjutkan dengan shalat taubah dan shalat hajat.

3. Membaca istighfar 100 kali.

4. Shalat istikharah, yang bisa dilakukan sekali atau lebih sesuai dengan petunjuk sang Mursyid.

5. Tidur miring kanan dan menghadap kiblat sambil membaca shalawat Nabi Saw sampai tertidur.

Setelah lima hal tersebut dilakukan, selanjutnya adalah; Pelaksanaan Talqin Dzikir/Bai’at dengan cara kurang lebihnya seperti tersebut di atas. Melakukan puasa dzir-ruh (puasa sambil menghindari memakan makanan yang berasal dari yang bernyawa) selama 41 hari.

Baru setelah itu, dia tercatat sebagai murid thariqah qodiriyah wan naqsyabandiyah. Adapun setelah menjadi murid thariqah ini, dia berkewajiban mengamalkan wirid-wirid sebagai berikut;

a. Diawali dengan membaca:

الهى انت مقصودى ورضاك مطلوبى, اعطنىمحبتك ومعرفتك ولا حول ولا قوة الا بالله العلى العظيم 3×

b. Hadrah Al-Fatihah kepada Ahli silisilah Thariqah Qodiriah wan Naqsyabandiyah.

c. Membaca Al-Ikhlas 3 kali,Al-Falaq 1kali, dan An-Nas 1 kali.

d. Membaca shalawat umm 3 kali.

اللهم صل على سيدنا محمد النبى الامى وعلى اله وصحبه وسلم

e. Membaca istighfar 3 kali.

استغفر الله الغفور الرحيم

f. Rabithah kepada guru mursyid sambil membaca :

لااله الا الله حي باق, لا اله الا الله حي موجود, لا اله الا الله حي معبود

g. Membaca dzikir nafi itsbat ( لا اله الا الله ) ) enam puluh lima kali.

kemudian dilanjutkan dengan;

h. Membaca lagi:

الهى انت مقصودى ورضاك مطلوبى, اعطنىمحبتك ومعرفتك ولا حول ولا قوة الا بالله العلى العظيم 3 ×

i. Menenangkan dan mengkonsentrasikan hati ,kemudian kedua bibir dirapatkan sambil lidah ditekan dan gigi direkatkan seperti orang mati, dan merasa bahwa inilah nafas terakhirnya sambil mengingat alam kubur dan kiamat dengan segala kerepotannya.

j. Kemudian dengan hatinya mewiridkan dzikir ismudz-dzat ( ( الله seribu kali

Keterangan:

- Semua wirid tersebut dilaksanakan setiap kali setelah shalat maktubah.

- Untuk dzikir ismudz- dzat, kalau sudah bisa istiqomah setelah shalat maktubah maka ditingkatkan dengan di tambah qiyamul lail dan setelah shalat dhuha.

- Untuk dzikir ismudz-dzat boleh dilakukan sekali dengan cara di ropel 5000 x (bagi yang masih ba’da maktubah) aau 7000 X (bagi yang sudah di tingkatkan)

- Sikap duduk waktu melaksanakan wirid tersebut tidak ada keharusan tertentu. Jadi bisa dengan cara tawarruk,iftirasy atau bersila.

- Bacaan aurad tersebut adalah bagi para mubtadi’ atau pemula.

- Ajaran aurad dan pelaksanaan amalan dzikir lainnya yang ada dalam thariqah qodiriah wan Naqsyabandiyah ini secara lebih detail dan terperinci, dapat diketahui apabila seseoang telah masuk menjadi anggotanya dan meningkat ajarannya.

Apa Itu Murid Thoriqoh

Murid di dalam thoriqoh adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu dari aliran thoriqohnya. Atau dengan kata lain, orang yang telah berbaiat kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thoriqoh. Dalam thoriqoh Tijaniyyah sebutan untuk para murid adalah “ikhwan.”

Di dalam dunia thoriqoh hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini, tetapi akan terus berlanjut sampai di akhirat kelak. Bahkan dikalangan ahli thoriqoh ada keyakinan, bahwa seorang mursyid mempunyai peranan yang sangat penting didalam menyelamatkan muridnya besok di kehidupan akhirat. Oleh karena itu, seorang yang ingin menjadi murid thoriqoh, hendaknya tidak sembarangan memilih guru mursyid. Bahkan sangat dianjurkan bagi seorang yang akan berbaiat kepada seorang mursyid thoriqoh, untuk terlebih dahulu beristikharah tentang pilihannya tersebut. Karena seorang murid itu harus bisa mahabbah yang sungguh- sungguh dengan guru mursyidnya.

Apa Itu Mursyid

Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thoriqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh yang musalsal dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thoriqoh Tijaniyyah sebutan untuk mursyid adalah “Muqoddam” .

Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thoriqoh. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan wasilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thoriqoh.

Oleh karena itu, jabatan ini tidak di pangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thoriqoh cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci.

Bermacam-macam sebutan yang mulia diberikan kepada seorang guru musyid ini; seperti Nasik (orang yang sudah mengerjakan mayoritas perintah agama), Abid (orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadahnya), Imam (orang yang ahli memimpin tidak saja dalam segala bentuk ibadah syari’at ,tetapi juga masalah aqidah /keyakinan), Syaikh (orang yang menjadi sesepuh atau yang dituakan dari suatu perkumpulan), Sa’adah (penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh) dan lain sebagainya.

Beliau Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, seorang penganut thoriqoh Naqsyabandiyah yang bermadzhab Syafi’i dalam kitabnya Tanwirul Qulub Fi Muamalati ‘Allamil Ghuyub menyatakan, bahwa yang dinamakan Syaikh/Mursyid itu adalah orang yang sudah mencapai derajat Rijalul Kamal , seorang yang sudah sempurna suluk (laku)nya dalam syariat dan hakikat menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqom (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT. dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at ) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.

Seorang mursyid yang diakui keabsahanya itu sebenarnya tidak boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena didorong oleh nafsu belaka. Mursyid yang arif yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan seperti yang tersebut di atas itulah yang diperbolehkan memimpin suatu thoriqoh. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT., juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar diatasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syaitan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah Saw. Al-Imam Ar-Roziy menyatakan, bahwa seorang syaikh yang tidak berijazah dalam pengajarannya akan lebih merusakkan daripada memperbaiki, dan dosanya sama dengan dosa seorang perampok, karena dia menceraikan murid-murid yang benar dari pemimpin-pemimpinnya yang arif.

Macam-Macam Thoriqoh Al Mu'tabaroh

MENGENAL THORIQOH MU’TABAROH

Dalam tasawwuf seringkali dikenal istilah Thoriqoh, yang berarti jalan, yakni jalan untuk mencapai Ridlo Allah. Dengan pengertian ini bisa digambarkan, adanya kemungkinan banyak jalan, sehingga sebagian sufi menyatakan, Aturuk biadadi anfasil mahluk, yang artinya jalan menuju Allah itu sebanyak nafasnya mahluk, aneka ragam dan bermacam macam. Kendati demikian orang yang hendak menempuh jalan itu haruslah berhati hati, karena dinyatakan pula, Faminha Mardudah waminha maqbulah, yang artinya dari sekian banyak jalan itu, ada yang sah dan ada yang tidak sah, ada yang diterima dan ada yang tidak diterima. Yang dalam istilah ahli Thoriqoh lazim dikenal dengan ungkapan, Muâtabaroh. Wa ghoiru Muâtabaroh.
KH. Dzikron Abdullah menjelaskan, awalnya Thoriqoh itu dari Nabi yang menerima wahyu dari Allah, melalui malaikat Jibril. Jadi, semua Thoriqoh yang Muâtabaroh itu, sanad(silsilah)-nya muttashil (bersambung) sampai kepada Nabi. Kalau suatu Thoriqoh sanadnya tidak muttashil sampai kepada Nabi bisa disebut Thoriqoh tidak (ghoiru) Muâtabaroh. Barometer lain untuk menentukan ke-muâtabaroh-an suatu Thoriqoh adalah pelaksanaan syariâat. Dalam semua Thoriqoh Muâtabaroh syariat dilaksanakan secara benar dan ketat.
Diantara Thoriqoh Muktabaroh itu adalah :

Thoriqoh Syathariyah

Thoriqoh Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M). Thoriqoh Syathariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke Nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau. Thoriqoh Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din, berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ al-Qulub. Thoriqoh ini berkembang di Minangkabau dan sekitarnya. Untuk mendukung ke1embagaan Thoriqoh, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaâah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi-tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan Thoriqoh Syathariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan ziarah bersama ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.

Thoriqoh Naqsyabandiyah

Sementara Thoriqoh Naqsyabandiyah masuk ke Nusantara dan Minangkabau pada tahun 1850. Thoriqoh Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke 17, pintu masuknya me1alui daerah Pesisir Pariaman, kemudian terus ke Agam dan Limapuluh kota. Thoriqoh Naqsyabandiyah diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ketujuh belas oleh Jamal al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum dia melanjukan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir dan India. Naqsyabandiyah merupakan salah satu Thoriqoh sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan Thoriqoh tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati (Sirri). Penyebaran Thoriqoh Naqsyabandiyah Khalidiyah ditunjang oleh ulama ulama Minangkabau yang menuntut ilmu di Mekah dan Medinah, mereka mendapat bai’ah dari Syekh Jabal Qubays di Mekah dan Syekh Muhammad Ridwan di Medinah. Misalnya, Syekh Abdurrahman di Batu Hampar Payakumbuh (w. 1899 M), Syekh Ibrahim Kumpulan Lubuk Sikaping, Syekh Khatib Ali Padang (w. 1936), dan Syekh Muhammad Sai’d Bonjol. Mereka adalah ulama besar dan berpengaruh pada zamannya serta mempunyai anak murid mencapai ratusan ribu, yang kemudian turut menyebarkan Thoriqoh ini ke daerah asal masing masing Di Jawa Tengah Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyyah disebarkan oleh KH. Abdul Hadi Girikusumo Mranggen yang kemudian menyebar ke Popongan Klaten, KH. Arwani Amin Kudus, KH. Abdullah Salam Kajen Margoyoso Pati, KH. Hafidh Rembang. Dari dari tangan mereka yang penuh berkah, pengikut Thoriqoh ini berkembang menjadi ratusan ribu. Ajaran dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Thoriqoh Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak ke permukaan dan memiliki tata aturan adalah khalwat atau suluk. Khalwat ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir dibawah bimbingan seorang Syekh atau khalifahnya, selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara khalwat ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah..

Thariqat Ahmadiyah

Thariqat Ahmadiyah didirikan oleh Ahmad ibn âAly (al-Husainy al-Badawy). Diantara nama-nama gelaran yang telah diberikan kepada beliau ialah Syihabuddin, al-Aqthab, Abu al-Fityah, Syaikh al-âArab dan al-Quthab an-Nabawy. Malah, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy telah diberikan nama gelar (laqab) yang banyak, sampai dua puluh sembilan nama. Al-Ghautha al-Kabir, al-Quthab al-Syahir, Shahibul-Barakat wal-Karamat, asy-Syaikh Ahmad al-Badawy adalah seorang lelaki keturunan Rasulullah SallAllahu âalaihi wa sallam, melalui Sayidina al-Husain. Sholawat Badawiyah sughro dan Kubro, adalah sholawat yang amat dikenal masarakat Indonesia, dinisbatkan kepada waliyullah Sayid Ahmad Badawi ini, akan tetapi Tarekat badawiyah sendiri tidak berkembang secara luas di indonesia khususnya di Jawa

Thoriqoh Sadziliyah

Abul Hasan Ali asy-Sadzili, merupakan tokoh Thoriqoh Sadziliyah yang tidak meninggalkan karya tulis di bidang tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya ajaran lisan tasawuf, Doa, dan hizib. Ketika ditanya akan hal itu, ia menegaskan :âkaryaku adalah murid muridkuâ, Asadzili mempunyai murid yang amat banyak dan kebanyakan mereka adalah ulama ulama masyhur pada zamannya, dan bahkan dikenal dan dibaca karya tulisnya hingga hari ini. Ibn Atha’illah as-Sukandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah Thoriqoh Sadziliyah tetap terpelihara. Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan Thoriqoh Sadziliah, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, yang menjadi rujukan bagi angkatan-angkatan setelahnya. Sebagai ajaran, Thoriqoh ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Sadzili kepada murid-muridnya: “Jika kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya: “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atah’illah. Thoriqoh Sadzaliah berkembang pesat di Jawa, tercatat Ponpes Mangkuyudan Solo, Kyai Umar , Simbah Kyai Dalhar Watucongol, Simbah Kyai Abdul malik Kedongparo Purwokerto, KH Muhaiminan Parakan, KH. Abdul Jalil Tulung Agung. KH . Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan .Simbah KH.M.Idris, kacangan Boyolali, adalah pemuka pemuka Sadzaliah yang telah membaiat dan membina ratusan ribu bahkan jutaan murid Sadziliah.

Thoriqoh Qodiriyah

Thoriqoh Qodiriyah dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Riwayat hidup dan keutamaan akhlak (Manaqib) Syech Abdul Qodir Jaelani ini, dikenal luas oleh masarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dibaca dalam acara-acara tertentu guna tabarruk dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir. Thoriqoh Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, Thoriqoh ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, Thoriqoh Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Thoriqoh Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti Thoriqoh gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi Thoriqoh yang lain ke dalam Thoriqohnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syekh Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Seperti halnya Thoriqoh di Timur Tengah. Sejarah Thoriqoh Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Mukarromah. Thoriqoh Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syekh Abdul Karim dari Banten adalah murid kesayangan Syekh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Thoriqoh Qodiriyah. Murid-murid Syekh Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura, setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Thoriqoh Qodiriyah tersebut.

Di Jawa Tengah Thoriqoh Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah muncul dan berkembang antara lain dari Mbah Ibrahim Brumbung Mranggen diturunkan kepada antara lain KH. Muslih pendiri Ponpes Futuhiyyah ,Mranggen. Dari Kyai Muslih ini lahir murid-murid Thoriqoh yang banyak. Dan dari tangan mereka berkembang menjadi ratusan ribu pengikut. Demikian pula halnya Simbah Kyai Siradj Solo yang mengembangkan Thoriqoh ini ke berbagai tempat melalui anak muridnya yang tersebar ke pelosok Jawa Tengah hingga mencapai puluhan ribu pengikut. Sementara di Jawa Timur, Thoriqoh ini dikembangkan oleh KH. Mustaâin Romli Rejoso Jombang dan Simbah Kyai Utsman yang kemudian dilanjutnya putra-putranya diantaranya KH. Asrori yang juga mempunyai murid ratusan ribu. Di Jawa Barat tepatnya di Ponpes Suryalaya Tasikmalaya juga turut andil membesarkan Thoriqoh ini sejak mulai zaman Abah Sepuh hingga Abah Anom dan murid-muridnya yang tersebar di berbagai penjuru Jawa Barat.

Thoriqoh Alawiyyah

Thoriqoh Alawiyyah berbeda dengan Thoriqoh sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) yang berat, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad.serta beberapa ratib lainnya seperti Ratib Al Attas dan Alaydrus juga dapat dikatakan, bahwa Thoriqoh ini merupakan jalan tengah antara Thoriqoh Syadziliyah (yang menekankan olah hati) dan batiniah) dan Thoriqoh Al-Ghazaliyah (yang menekankan olah fisik). Thoriqoh ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Thoriqoh ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajirâlengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajirâseorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat. Al Imam Faqihil Muqaddam Muhammad bin Ali Baalwi, juga merupakan tokoh kunci Thoriqoh ini. Dalam perkembangannya kemudian, Thoriqoh Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah al-Haddad, Attasiyah yang dinisbatkan kepada Habib Umar bin Abdulrahman Al Attas, serta Idrusiyah yang dinisbatkan kepada Habib Abdullah bin Abi Bakar Alaydrus, selaku generasi penerusnya. Sementara nama âAlawiyyahâ berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Thoriqoh Alawiyyah, secara umum, adalah Thoriqoh yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid â keturunan Nabi Muhammad SAWâyang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal Thoriqoh ini didirikan, pengikut Thoriqoh Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid di Hadhramaut, atau Ba Alawi.Thoriqoh ini dikenal pula sebagai Toriqotul abak wal ajdad, karena mata rantai silisilahnya turun temurun dari kakek,ayah, ke anak anak mereka, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami. Di Purworejo dan sekitarnya Thoriqoh ini berkembang pesat, diikuti bukan hanya oleh para saadah melainkan juga masarakat non saadah , Sayid Dahlan Baabud, tercatat sebagai pengembang Thoriqoh ini, yang sekarang dilanjutkan oleh anak cucunya.

Umumnya, nama sebuah Thoriqoh diambil dari nama sang pendiri Thoriqoh bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband. Tapi Thoriqoh Khalwatiyah justru diambil dari kata âkhalwatâ, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati (w. 717 H), pendiri Thoriqoh Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara ânasabiyahâ, Thoriqoh Khalwatiyah merupakan cabang dari Thoriqoh Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H). Thoriqoh Khalwatiyah berkembang secara luas di Mesir. Ia dibawa oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syiria. Ia mengambil Thoriqoh tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan Thoriqoh ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Diantara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka).

Thoriqoh Syattariyah

Thoriqoh Syattariyah adalah aliran Thoriqoh yang pertama kali muncul di India pada abad ke 15. Thoriqoh ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya Thoriqoh ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, Thoriqoh ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Thoriqoh Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Thoriqoh ini dianggap sebagai suatu Thoriqoh tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik. Perkembangan mistik Thoriqoh ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Thoriqoh Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut Thoriqoh ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan Thoriqoh ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah.

Thoriqoh Tijaniyah

Thoriqoh Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan “Neosufisme”. Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari’at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan. At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di ‘Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun. Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh Thoriqoh-Thoriqoh lain. Gugatan keras dari kalangan ulama Thoriqoh itu dipicu oleh pernyataan bahwa para pengikut Thoriqoh Tijaniyah beserta keturunannya sampai tujuh generasi akan diperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Thoriqoh Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru Thoriqoh lain, Meski demikian, Thoriqoh ini terus berkembang, utamanya di Buntet- Cirebon dan seputar Garut (Jawa Barat), dan Jati barang brebes, Sjekh Ali Basalamah, dan kemudian dilanjutkan putranya, Sjekh Muhammad Basalamah, adalah muqaddam Tijaniah di Jatibarang yang pengajian rutinnya, dihadiri oleh puluhan ribu ummat Islam pengikut Tijaniah. Demikian pula Madura dan ujung Timur pulau Jawa, tercatat juga, sebagai pusat peredarannya. Penentangan terhadap Thoriqoh ini, mereda setelah, Jam’iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah menetapkan keputusan, Thoriqoh ini bukanlah Thoriqoh sesat, karena amalan-amalannya sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Keputusan itu diambil setelah para ulama ahli Thoriqoh memeriksa wirid dan wadzifah Thoriqoh ini.

Thoriqah Sammaniyah

Thoriqah Sammaniyah didirikan oleh Syekh Muhammad Samman yang bernama asli Muhammad bin Abd al-Karim al-Samman al-Madani al-Qadiri al-Quraisyi dan lebih dikenal dengan panggilan Samman. Beliau lahir di Madinah 1132 H/1718 M dan berasal dari keluarga suku Quraisy. Semula ia belajar Thoriqoh Khalwatiyyah di Damaskus, lama kelamaan ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik dzikir, wirid dan ajaran teosofi lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah yang akhirnya disebut sebagai Thoriqoh Sammaniyah. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Thoriqoh Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah. Di Indonesia, Thoriqoh ini berkembang di Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Sammaniyah masuk ke Indonesia pada penghujung abad 18 yang banyak mendapatkan pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib Syekh Samman juga sering dibaca berikut dzikir Ratib Samman yang dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang misalnya ada tiga ulama Thoriqoh yang pernah berguru langsung pada Syekh Samman, ia adalah Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin dan Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh juga terkenal apa yang disebut Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir (team Al Mihrab )

.almihrab.com.Bymsyafii on Jan 23, 2009 in Mencintai Rasulullah

Apa Itu Thoriqoh

بسم الله الرحمن الرحيم


Thoriqoh merupakan salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah praktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai sekarang ini.

Thoriqoh adalah suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan membersihkan relung-relung dari karatnya kelalaian dan salah pahamnya kebutuhan. Relung-relung hati itu tidak bisa suci (bersih) kecuali dengan dzikir kepada Allah SWT. dengan cara tertentu. Oleh karena itu wajib bagi setiap mu’min setelah mengetahui ‘aqidatul ‘awam (50 sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah SWT. dan para Rasul-Nya) dan pekerjaan-pekerjaan harian yang disyariatkan Allah SWT, berupa sholat yang meliputi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang membatalkannya, zakat, puasa, dan haji untuk meningkatkan diri dan memasuki thoriqoh dzikir dengan cara khusus/tertentu.

Habib Muhammad Luthfiy bin Ali bin Hasyim bin Yahya



Arti Thoriqoh menurut bahasa adalah jalan atau bisa disebut Madzhab mengetahui adanya jalan, perlu pula mengetahui "cara" melintasi jalan itu agar tidak kesasar/tersesat. Tujuan Thoriqoh adalah mencari kebenaran, maka cara melinta­sinya jalan itu juga harus dengan cara yang benar. Untuk itu harus sudah ada persiapan batin, yakni sikap yang benar. Sikap hati yang demikian tidak akan tampil dengan sendirinya, maka perlu latihan-latihan batin tertentu dengan cara-cara yang tertentu pula.

Sekitar abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah lahirlah kelompok-kelompok dengan metoda latihan berintikan ajaran "Dzikrullah". Sumber ajarannya tidak terlepas dari ajaran Rasulullah SAW. Kelompok-kelompok ini kemudian me­namakan dirinya dengan nama "Thoriqoh", yang berpredikat/bernama sesuai dengan pem­bawa ajaran itu. Maka terdapatlah beberapa nama antara lain :

a. Thoriqoh Qadiriyah, pembawa ajarannya adalah :Syekh Abdul Qodir Jaelani q.s. (Qaddasallahu sirrahu).
b. Thoriqoh Syadzaliyah, pembawa ajarannya : Syekh Abu Hasan As-Syadzali q.s.
c. Thoriqoh Naqsabandiyah : pembawa ajaran­nya : Syekh Baha’uddin An-Naqsabandi q.s.
d. Thoriqoh Rifa'iyah, pembawa ajarannya : Syekh Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa' i q.s.

dan masih banyak lagi nama-nama Thoriqoh yang sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT. :

Artinya :
"Jika mereka benar-benar istiqomah - (tetap pendirian/terus-menerus diatas Thoriqoh (jalan) itu, sesungguhnya akan Kami beri minum mereka dengan air (hikmah) yang berlimpah-­limpah.
(Q.S. Al-Jin : 16)

Dalam pertumbuhannya, para Ulama Thoriqoh berpendapat dari jumlah Thoriqoh yang tersebar di dunia Islam, khususnya di Indonesia, ada Thoriqoh yang Mu'tabaroh (diakui) dan ada pula Thoriqoh Ghairu Mu'tabaroh (tidak diakui keberadaannya/ kesahihannya).

Seseorang yang menganut/mengikuti Thoriqoh tertentu dinamai salik (orang yang berjalan) sedang cara yang mereka tempuh menurut cara-cara tertentu dinamakan suluk. Banyak hal-hal yang hams dilakukan oleh seorang salik bila ingin sampai kepada tujuan yang dimaksud.

Dalam menempuh jalan (thoriqoh) untuk membuka rahasia dan tersingkapnya dinding (hijab) maka mereka mengadakan kegiatan batin, riyadoh (latihan-latihan) dan mujahadah (perjuangan) keruhaniyan. Perjuangan yang demikian dinamakan suluk, dan orang yang mengerjakan dinamakan "salik".

Maka cukup jelaslah bahwa Thoriqoh itu suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dimana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya (ainul basiroh), sesuai dengan hadist sebagai berikut :

Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. {QS Al-Lukman ayat 34} Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka
(HR Bukhari dan Muslim)

Hadist tersebut jelas merupakan tujuan bagi semua orang yang mengaku dan menyatakan muslim, tidak hanya sekedar iman dan islam tetapi juga dituntut untuk menjadi jati diri yang ‘ihsan’, dan ath-Thariqoh adalah merupakan jalan yang untuk menggapai derajat ihsan dengan baik sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Hal yang demikian didasarkan pertanyaan Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW. Ya Rasulullah, manakah jalan yang paling dekat untuk menuju Tuhan. Jawab Rasulullah : Tidak ada lain, kecuali dengan dzikrullah.

Dalam hal ini pun Allah SWT juga menegaskan dalam Firman-Nya di dalam Al-Qur’an Kariim ;

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS Ar-Ra’d ayat 28)


Dengan demikian jelaslah bahwa jalan yang sedekat-dekatnya mencapai Allah SWT ; merasa dilihat dan diperhatikan, hanya bisa diraih oleh seorang hamba dengan dzikir kepadaNya (Zikrullah), disamping melakukan latihan (riyadoh) lahir-batin seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Shufi antara lain : Ikhlas, jujur, zuhud, muraqabah, musyahadah, tajarrud, mahabah, cinta kepada Allah SWT. dan lain sebagainya, yang merupakan bentuk dari dzikrullah itu sendiri; para ulama thariqah/tasawuf mendefinisikannya dalam bentuk dzikrullah Amaliyah.

Melihat petunjuk Allah dan Rasulullah SAW tersebut, maka Thoriqah mempunyai dua pengertian :
Pertama : Ia berarti metode bimbingan spiritual kepada individu (per­orangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedeka­tan dengan Tuhan.
Kedua : Thoriqoh sebagai persaudaraan kaum Shufi yang ditandai adanya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Kedudukan Guru Thoriqoh diperkokoh dengan adanya ajaran wasilah dan silsilah(sanad). Keyakinan berwasilah dengan Guru diper-erat dengan kepercayaan karomah, barokah dan syafa’at atau limpahan pertolongan dari Allah SWT melalui KaruniaNya kepada guru. Kepatuhan murid kepada Guru dalam Thoriqoh digambarkan seperti mayat di tangan orang yang memandikannya.

Dengan demikian dapat diambil benang merah bahwa inti Thoriqoh adalah wushul (bertemu) dengan Allah. Jika hendak bertemu, maka jalan yang dapat dipakai bisa bermacam-macam. Ibarat orang mau berpergian menuju Jakarta, kalau orang itu berangkat dari Surabaya ya harus menuju ke barat. Berbeda jika orang itu berangkat dari Medan ya harus berjalan ke timur menuju Jakarta. Ini artinya bahwa Thoriqoh yang ada, terutama di Indonesia mempunyai tujuan yang sama yaitu wushul, kepada Allah SWT.


II. Jalan menuju wushul ilallah

a. Melalui Muraqabah.
Petunjuk Al-Qur'an tentang Muraqabah/pendekatan diri kepada Allah SWT. disebutkan dalam Al-Qur'an antara lain :

186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(S. Al Baqarah : 186).

Ketahuilah wahai saudaraku, Allah SWT selalu mengawasi segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an S. Al-Ahzab (33) : 52.

52. ……………. dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.

Hal ini mengandung pelajaran bahwa seseorang selalu merasa diawasi/diintai oleh Allah SWT, karena pada dasarnya Allah adalah sangat dekat dengan hamba-hambanya, sebagaimana petunjuk S. Al-Qof (50) : 16.

16. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,

Demikian juga petunjuk dari Al-Qur'an dalam S. Al-Hadid (57) : 4.

4. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.


Hadis Nabi SAW. juga memberi arahan yakni ketika Nabi menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang Ihsan, beliau menjawab : Hendaklah engkau beribadah kepada Allah se-olah-olah engkau melihat­nya. Apabila engkau tak mampu meli­hat-Nya, yakinlah bahwasanya Allah meli­hatmu.
(HR. Bukhari-Muslim).

Kesadaran rohani bahwa Allah SWT. selalu hadir di dalam dan disekitar dirinya akan menjadikan dirinya selalu merasa diawasi segala apa yang dilakukan, bahkan sampai apa yang terlintas dalam hatinya.

Banyak kisah dalam dunia sufi Guru dan santrinya yang empat orang itu, satu diantaranya tidak mau menyembelih ayam yang diberikan oleh sang Guru, karena bagi Allah tidak ada suatu yang tersembunyi, Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui, maka luluslah murid tersebut dari ujian yang diberikan gurunya tersebut.

Selanjutnya Al-Imam al-Qusairi.rhm berkata : "Barang siapa yang muraqabah dengan Allah dalam hatinya, maka Allah akan memiliharanya dari perbuatan dosa pada anggota tubuhnya. Imam tokoh Sufi Sufyan Sauri.rhm juga berpesan hendaklah engkau melakukan muraqobah terhadap Dzat yang tidak lagi samar terhadap segala sesuatu, hendaklah engkau selalu mengharap raja’ (pengharapan dengan sangat berharap) terhadap Dzat yang memiliki siksa (Abu Bakar Jabir al-Jazairi 1976 : 85).

Maka dari uraian diatas dapat dicermati adanya dampak positif muroqobah bagi yang mampu melakukannya, yakni :
q Memiliki rasa malu yang positif.
q Akan senantiasa hati-hati dalam segala ucapan dan perbuatannya.
q Tidak pernah merasa ditinggalkan oleh Allah meski sendirian ataupun kelihatan doanya yang dipanjatkan belum dikabul­kan
q Tidak mudah putus asa apapun nasib yang menimpanya
q Menjadi hamba yang mukhlis sebagai diisyaratkan dalam Al-Qur'an S. Yusuf (12) : 24.

24. Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia (Nabi Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[*]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

[*] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Nabi Yusuf tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan. Dan ayat inilah menunjukkan keimanan dari Nabi Yusuf yang kuat dalam melaksanakan Ihsan, merasa dilihat dan diawasi oleh Allah SWT.


b. Melalui Muhasabah
Muhasabah berarti orang selalu memi­kirkan, memperhatikan dan memperhitung­kan apa saja yang telah dan yang akan di perbuat. Pedomannya dalam S. Al-Hasyr (59) : 18.

18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dari pengertian ini dapat diambil pelajaran bahwa Muhasabah :

1. Membuktikan adanya iman dan takwa kepada Allah dalam dirinya dan Allah mengakui hal itu. Bagi ummat Islam, iman merupakan kekuatan yang maha dahsyat untuk memelihara manusia dari nilai-nilai rendah, dan merupakan alat yang menggerakan manusia untuk meningkatkan nilai luhur dan moral yang bersih. Orang yang beriman akan berusaha mengamalkan akhlak yang mulia/mah­mudah, bukan akhlak yang tercela/mazmumah dalam kehidupannya sehari­-hari sehingga orang tersebut akan terhindar dari kejahatan apapun. Itulah gambaran orang bertakwa, bersih dari dosa, dapat mengalahkan tuntutan hawa nafsu.

2. Orang yang bermuhasabah, pasti mem­punyai keyakinan akan datangnya Hari Pembalasan (secara khusus) begitu merasuk dalam hatinya sehingga ia merasa pelu sangat hati-hati dalam setiap langkahnya. Dia tidak berani main-main akan larangan Allah SWT.

3. Orang tersebut akan selalu berusaha meningkatkan kualitas amalnya, karena ia merasa tak mau merugi dari hari ke hari. Ibaratnya seperti pedagang, se­belum berangkat akan memperhitungkan berapa modalnya, berapa pula ia harus menjual dagangannya, dan setelah selesai akan menghitung lagi berapa hasil uang yang bisa dibawa pulang. Begitu juga dalam hal beragama, modalnya adalah kumpulan kewajiban yang berhasil dikerjakan, sedang labanya adalah amalan-amalan sunnah yang berhasil dikerjakannya.

4. Pesan Sayidina Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a : Perhitungkanlah dirimu sendiri sebelum dirimu diperhitungkan. Oleh karena itu sikap hidup muraqobah dan muhasabah merupakan peningkatan ruhaniyah dan mental manusia sehingga benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa, hidup dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat.

c. Melalui Dzikir
Dzikir berarti ingat, mengingat, mere­nung, menyebut. Termasuk dalam pengertian dzikir ialah dia, membaca Al-Qur'an, tasbih (mensucikan Allah) tahmid (memuji Allah), takbir (membesarkan Allah) tahlil (men­tauhidkan Allah), istighfar (memohon ampun kepada Allah) hauqalah (membaca lahula wala quwwata illah billahi 'aliylil 'adziem) dan lain sebagainya.

Ada dzikir yang menyatu dengan ibadah lainnya seperti dengan salat, thawaf, sa'i, wukuf dan lain sebagainya. Dan ada pula dzikir yang dilakukan secara khusus/ter­sendiri diucapkan pada saat-saat tertentu, atau pada, setiap saat. Ada dzikir yang jumlahnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi ada dzikir yang jumlahnya ditentukan oleh syara' menurut ketentuan Thoriqoh yang bersangkutan, Nabi SAW. sendiri baik dengan pernyataan beliau maupun dengan contoh amalan beliau. Sedang dzikir dalam pengertian ingat atau mengingat Allah, seharusnya dilakukan pada setiap saat. Artinya kegiatan apapun yang dilakukan oleh seorang Muslim hendaknya jangan sampai melupakan Allah SWT.

Dimanapun seorang Muslim berada, hendaknya selalu ingat kepada Allah, sehingga melahirkan cinta beramal saleh kepada Allah dan malu berbuat dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Dzikir dalam arti menyebut asma Allah yang diamalkan secara rutin, biasanya disebut wind atau jamaknya disebut aurad.

Dzikir dalam menyebut asma Allah termasuk ibadah makhdhoh yaitu ibadah langsung kepada Allah SWT. Sebagai ibadah langsung, maka terikat dengan norma-norma ibadah langsung kepada Allah SWT, yaitu mesti ma'sur ada contoh atau ada perintah dari Rasulullah SWT. atau ada izin dari beliau. Artinya jenis dzikir ini tidak boleh dikarang oleh seseorang. Dzikir hanyalah mengingat atau menyebut asma Allah, atau nama-nama Allah atau kalamullah, Al-Qur'an.
Petunjuk Al-Qur'an dan Hadis perihal kegiatan dzikir cukup banyak, antara lain dapat disebutkan :

Firman Allah : Ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu.
(S. Al-Baqarah (2) : 152)

41. Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
(S. Al-Ahzab (33) : 41).

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

(Q.S. Ali-Imran : 191).


205. dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang lalai.

(S. Al-A'rof (7) : 205).

28. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(S. Ar-Ra'du (13) : 28).

Hadis-hadis Nabi :
Telah berfirman Allah SWT. (dalam suatu hadis Qudsi) : Aku bersama-sama hamba-Ku selama ini mengingat Aku dan bibirnya bergerak menyebut nama-Ku. (HR. Al Baihaqy dan Ibnu Hiban).

Tak seorangpun manusia mengerjakan suatu perbuatan yang dapat menjauhkan dari azab Allah SWT. lebih baik dari pada dzikir. Para sahabat bertanya tidak pula jihad fi sabi­lillah, kecuali apabila engkau menghantam musuh dengan pedangmu itu sehingga ia patah, kemudian engkau menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah, ke­mudian menghantam lagi dengan pedangmu sehingga ia patah. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Musshanaf).



Rasulullah SAW. pernah ditanya : Amalan apa yang paling afdol ? Jawab beliau : Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah (HR. Ibnu Hiban & Athabrani).

Nabi SAW. telah bersabda : Allah SWT. berfirman dalam suatu hadis qudsy : Barang siapa disibukkan dzikir kepada-Ku, sedemikian sehingga tidak sempat memohon sesuatu dari-Ku, maka Aku akan mem­berinya yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan kepada para pemohon (HR. Bukhori)

Seorang tokoh Shufian Abdul Qosim berkata : Ingat kepada Allah adalah bagian yang sangat kuat untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci. Bahkan sebagai unit/pokok didalam jalan/thoriqah ini (jalan shufiyah). Dan seorang hanya dapat sampai kepada Allah dengan terus menerus ingat kepada Allah (Abul Muhammad Abdulah Al-Yafi'i : Nasrul Mahasin Al-Ghoyah : 247).

Perlu disampaikan secara garis besar bahwa praktek dzikir dalam dunia thoriqoh, pelaksanaannya bisa berbeda-beda dalam tehnisnya tergantung ciri dan kepribadian thoriqoh itu sendiri sesuai petunjuk Mursyid­nya.

Ulama Thoriqoh membaca jenis dzikir menjadi tiga jenjang :
a. Dzikir lisan : Laa ilaaha Illalah. Mula­mula pelan kemudian bisa naik menjadi cepat setelah merasa meresap dalam diH.
b. Dzikir qalbu (hati) : Allah, Allah.
Mula-mula mulutnya berdzikir diikuti oleh hati, kemudian dari hati ke mulut, lalu lidah berdzikir sendiri, dengan dzikir tanpa sadar, akal pikiran tidak jalan lagi, melainkan terjadi sebagai Ilham yang menjelma Nur Ilahi dalam hati membe­ritahukan : Innany Anal Laahu, yang naik ke mulut mengucapkan Allah, Allah.
c. Dzikir Sir atau Rahasia : Hu Hu. Biasa­nya sebelum sampai ke tingkat dzikir orang itu sudah fana lebih dahulu. Dalam situasi yang demikian perasaan antara diri dengan Dia menjadi satu. Man lam jazuk Lam ya'rif : Barang siapa belum merasakan, maka is belum mengetahui.

Adapun juga ulama ahl-Tharigoh yang membagi jenis dzikir menjadi empat macam : Dzikir Qolbiyah, Dzikir Aqliyah, Dzikir Lisan dan Dzikir Amaliyah.

Semua tehnis berdzikir itu baik semua. Pada akhirnya terpulang kepada kemampuan kita masing-masing untuk melaksanakan dzikir itu sesuai dengan pilihan Thoriqoh dan petunjuk Mursyid yang bersangkutan selaku murid hanya bisa taat dengan petunjuk gurunya.

Demikian uraian singkat kami dalam menyajikan Thoriqoh sebagai jalan- menuju khusnul khatimah, yang semoga merupakan ikhtiar seorang hamba menjadi idaman bagi setiap muslim diakhir hayatnya. Mudah­-mudahan ada manfaatnya. Dan Allah SWT, selalu membimbing dan memberi hidayah kepada kita semua. Amin.

Tidak Sholat Jum'at Pada Hari Raya

Pertanyaan

Bilamana hari raya bertepatan dengan hari jum'at bolehkah bagi seorang bagi seorang Alim memberikan keterangan bahwa pada hari tersebut boleh meninggalkan shalat jum'at tapi hanya shalat dhuhur, dimana hal tersebut mengakibatkan kekosongan syia'ar islam atau bisa menimbulkan kericuhan bagi masyarakat islam?

Jawaban

Memberikan keterangan /fatwa yang bisa menimbulkan masyarakat menjadi tasahul fiddin (meremahkan agama) tidak boleh.

Dasar Pengambilan Dalil

Bughyatu Al-Mustarsyidin, 5-7


لا يحل لعالم ان يذكر مسئلة لمن يعلم انه يقع بمعرفتها فى تساهل فى الدين ووقوع فى مفسدة, ويحرم على المفتى التساهل


Tidak boleh bagi seorang Alim untuk menyebutkan mas'alah bagi orang yang dia ketahui bahwa setelah mengetahui mas'alah tersebut ia akan meremehkan/mempermudah urusan agama dan melakukan perbuatan mafsadah dan diharamkan bagi seorang mufti untuk mempermudah/gegabah dalam urusan fatwa.

Jumlah Roka'at Dalam Sholat Tarawih

Shalat Tarawih 11 ataukah 23 Raka'at


Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha , “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at. ” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu , beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan . Lihat Shalat At Tarawih , hal. 21)

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if . Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam. ” (Fathul Bari , 6/295)

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at. ” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at .” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah).

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?

Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak. ” (At Tamhid , 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

Pertama , sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ

Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua , sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat) .” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga , sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu. ” (HR. Muslim no. 488)

Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat , Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama , perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan kedua , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. ... Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam , telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih . Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.


Pendapat pertama ,

yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih

.
Pendapat kedua ,

shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu . Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah , 2/9636)


Pendapat ketiga ,

shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah , 1/419)


Pendapat keempat ,

shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa , 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh .” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih ). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.

Tradisi Membakar Kemenyan Untuk Mayat

Di daerah kami ada tradisi membakar kemenyan dalam beberapa hal, yakni kalau akan menggarap sawah (dibakar di sawah), kalau punya hajatan (kemanten, dll), dan selamatan. Dalam acara pembakaran kemenyan tersebut sangat disakralkan. Hal itu terlihat pada, yang membakar harus orang tertentu (tokoh, pimpinan tahlil). Setelah kemenyan dibakar di muka para hadirin lalu dimasukkan ke dalam dibawa keliling ke dapur atau ke dalam kamar (katanya untuk memanggil roh nenek moyang).

  1. Bagaimana hukumnya membakar kemenyan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan, memanggil roh nenek moyang?
  2. Mohon penjelasan asal-usul tradisi membakar kemenyan?

Jawab:

    1. Hukum membakar kemenyan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan adalah haram, sebab memohon keselamatan dan lainnya bagi orang muslim hanyalah kepada Allah swt, sedangkan untuk memohon kepadaNya haruslah sedangkan untuk memohon kepada-Nya haruslah sesuai dengan ketentuan yang disebutkan oleh Allah swt. sebagaimana firman Allah dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 186 yang berbunyi:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ، أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ، فَلْيَسْتِجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ .

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Dalam tafsir Al Qurthubi, disebutkan bahwa pengertian dari: فَلْيَسْتَجِيْبُوْا , adalah:

فَلْيُجِيْبُوْا لِيْ فِيْمَا دَعَوْتُهُمْ إِلَيْهِ مِنَ الإِيْمَانِ: أَيِ الطَّاعَةِ وَالْعَمَلِ .

Maka hendaklah mereka mengabulkan kepada-Ku mengenai apa yang Aku memanggil mereka kepada hal tersebut tentang iman, artinya ta'at dan beramal.

Jadi dalam ayat tersebut di atas ditegaskan, bahwa apabila do'a kita dikabulkan oleh Allah swt., kita harus ta'at kepada Allah mengenai ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan olehNya dalam menncapai tujuan yang menjadi sasaran darido'a kita dan kita harus bekerja keras dalam mencapai do'a tersebut, dan bukan dengan membakar kemenyan.

    1. Tentang membakar kemenyan untuk memanggil ruh nenek moyang, maka yang datang bisa datang sebab dibakarkan kemenyan tersebut adalah ruh-ruh jahat yang disebut syaithan atau jin-jin kafir yang mengaku-ngaku seperti nenek moyang. Adapun ruh-ruh nenek moyang itu sendiri, setelah meninggal dunia, semuanya ditahan di alam barzakh (alam kubur) dan tidak dapat keluar kecuali pada hari kiamat nanti. Memang ada nabi-nabi tertentu yang dapat memanggil ruh orang yang sudah mati untuk kembali ke jasadnya lagi, seperti nabi Musa yang memanggil ruh dari orang yang telah dibunuh untuk ditanyai siapa pembunuhnya sebagaimana yang diceriterakan dalam Al Qur'an dan nabi Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati ratusan tahun untuk membuktikan bahwa beliau adalah utusan Allah, tetapi tidak untuk dimintai keselamatan dan lainnya.

Dasar Pengambilan: Al Qur'an surat Al Mu'minun

ayat 99 - 100:

حَتَّى إِذَا جَآءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُوْنِ. لَعَلِّيْ أَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ، كَلاَّ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا، وَمِنْ وَّرَآئِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ .

Sehingga apabila kematian telah datang kepada salah seorang dari mereka, makia dia berkata: Wahai Tuhanku, kembalikanlah daku; supaya aku mengerjakan amal-amal shalih dalam perkara-perkara yang telah aku tinggalkan. Tidak! Masakan dapat? Sesungguhnya perkataannya itu hanyalah kata-kata yang ia saja yang mengatakannya, sedang di hadapan mereka barzakh (yang mereka tinggal tetap padanya) hingga hari nereka dibangkitkan semula (pada hari kiamat).

Jadi kalau ada orang yang mengaku dapat mendatangkan ruh dengan membakar kemenyan atau dengan cara yang lain, maka yang datang itu adalah ruh dari jin atau syaithan yang mengaku sebagai ruh orang yang sudah meninggal dunia, seperti jin-jin yang dipanggil dalam permainan jailangkung atau nini thowok.

Bahkan kalau ada orang yang mengaku bertemu dengan ruh seorang wali yang telah meninggal dunia sewaktu dia berziarah ke makamnya, maka belum tentu yang menemui itu adalah ruh dari wali tersebut dan kemungkinan besar dia adalah syaithan yang menjelma seperti wali tersebut; kecuali orang yang bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, maka benar-benar dia bertemu dengan beliau, karena syaithan tidak mampu memjelma seperti Nabi Muhammad saw, sebagaimana hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رع قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص م يَقُوْلُ: مَنْ رَآنِيْ فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِيْ فِي الْيَقَظَةِ وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِيْ. قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: قَالَ ابْنُ سِيْرِيْن: إِذَا رَآهُ فِي صُوْرَتِهِ .

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. katanya: Saya mendengar Nabi saw. bersabda: Barangsiapa yang melihat saya dalam tidur, maka dia akan melihat saya pada waktu jaga, dan syaithan tidak dapat menjelma seperi saya. Abu Abdillah berkata: Ibnu Sirin berkata: Apabila dia melihat Nabi dalam rupanya.

  1. Pembakaran dupa itu ada dua macam:

a. Dupa yang dibakar untuk pengharum ruangan yang berupa kayu garu yang sudah dirajang kecil-kecil seperti yang dilakukan oleh orang-orang Arab sampai sekarang pada waktu ada pertemuan.

b. Kemenyan atau yongsua (dupa cina) yang dibakar dalam upacara penyembahan berhala atau ruh nenek moyang